Shehrazad Milenium
Ketika
hobi para santri pada umumnya adalah bercerita dari mulai yang berfaidah sampai
yang unfaidah. Berbeda dengan santri satu ini, Humaira Shehrazad namanya.
Perangai dan akhlaq yang indah seperti namanya, hanya saja ia jarang tersenyum
karena kehidupannya yang keras saat ia hidup di kota tepatnya di jalanan. Ia
hidup sebatang kara dengan lika liku hidup tiada tara. Namun sesuai dengan
namanya ia ingin menjadi seseorang yang berarti bagi sekitarnya, paling tidak
mempertahankan derajat kemulian wanita.
Mata-mata
itu perlahan terpejam dan beringsut ke tempat yang selayaknya. Yang masih
bertahan adalah Tsuroyya, Tsuroyya adalah putri dari Umi Aisy dan Abah Halim
pengasuh pondok ini. Ia cantik, tapi sayang ia tak bisa berjalan dan berbicara,
tak mau berbicara tepatnya. Namun sejak pertemuannya dengan Humaira, ia mulai sedikit bisa
berbagi cerita dengannya.
“Dahulu kala ada seorang putri
kerajaan, ia hidup bahagia bersama kedua orangtuanya yang sangat menyayanginya.
Sampai seiring berjalannya waktu, kebahagiaan itu perlahan musnah. Ada
pemberontakkan dari sekte yang entah datang dari mana yang mana menyerang semua
anggota kerajaan dan membantainya. Sang putri melihat pembantaian itu dengan
mata kepala nya sendiri, ia melarikan diri. Jadilah dia satu-satunya keluarga
yang selamat dari pembantaian tersebut. Dengan ketakutan yang masih
mengguncangnya, ia lari ke kota, tapi tak ada satu orang pun yang mengenali
dirinya. Ia bingung akan menjadi apa dia setelah ini. Akhirnya ia menyusuri
penjuru kota sambil menyanyi dengan lirih sambil sesekali istirahat
dipersimpangan jalan. Tiba-tiba setiap orang sedang lalu lalang memberinya
koin, sampai akhirnya ia bisa membeli makanan dari koin tersebut setelah ia
tidak makan 3 hari ini. Karena tragedi itu, ia selalu bernyanyi menyusuri kota
berharap ia bisa mengumpulkan koin-koin itu.” Humaira menghela nafas sebentar.
Tsuroyya mengisyaratkan untuk melanjutkan ceritanya. Humaira menggeleng “Sudah
malam, besok aku lanjutkan lagi ceritanya” ucapnya dengan lembut.
***
***
Cianjur,
PP Daarul Izdihaar adalah pondok semi modern yang sudah tercium banyak
prestasinya baik dari para santri yang masih menetap maupun para alumninya. Pondok
ini diasuh oleh Umi Aisy dan Abah Halim. Memang
pondok ini belum menampung banyak santri, tapi justru dengan sedikitnya
itu para pengasuh pondok bisa lebih mudah mengontrol para santri. Di pondok ini
bukan hanya mengkaji kitab-kitab tsurots tapi juga menghafal al-quran.
Lagi-lagi bola mata yang jernih itu selalu
memandang jauh dengan pandangan kosong, ini sudah yang kesekian kalinya. Masih
mengenakan mukena, ia terduduk di kamar mandi yang ada di belakang masjid
sekalian mengantri mandi. Ia tak sendirian hanya saja teman-temannya menunggu
antrian sambil bermimpi namun ada juga yang sambil mencuci. Ya, begitulah
santri dimanapun dan kapanpun ada saja tingkahnya.
“ Hei Mai kau jangan melamunkan aku
lah, aku kan ada disamping kau” ucap Santi, teman dekat Mai yang berasal dari
Padang. Ia adalah temannya yang paling somplak. Humaira atau Mai menoleh dengan
pandangan yang tidak bisa dijelaskan. Yang ditoleh pun hanya cecengesan tak jelas.
“Kenapa lagi dengan kau Mai?” tanya
Santi
“ Aku hanya sedang rindu orangtuaku”
jawab Mai pelan
“ Hei, kalian berdua, ayo cepetan
bentar lagi ngaji” teriak Sarah. Satu lagi teman dekat Mai yang tidak kalah
somplak dengan Santi. Keduanya pun menoleh dan mengisyaratkan bahwa mereka
mendengar teriakan super rombeng itu.
Lantai satu, ndalem Abah dan Umi adalah
tempat ngaji santri putri. Setengah jam berlalu menunggu Umi namun beliau tak
kunjung datang. Mai masih bertahan dengan kegiatan nderes Al-Qurannya sedangkan
yang lain sudah tergeletak dilantai. Berbeda dengan yang lain dua sahabat Mai
malah menggosip sambil cengengesan. Mai mendelik kepada mereka yang sedang
berbisik-bisik.
“Barang
siapa yang membicarakan keburukan orang lain lalu benar itu ghibah dan kalau
ternyata keburukan nya itu salah maka itu fitnah” sindir Mai dengan mata masih
terfokus pada mushafnya. Yang disindir menengok kepada Mai sambil nyegir kuda.
“Tadi kita dapet surat dari dalem
nya Umi kalo umi sedang ada tamu” jelas Sarah.
“Itu doang yang bikin kalian
berisik?” tanya Mai keheranan.
“Oh kalau berisik sih karena
kangkang dalemnya yang ganteng, Mai” tambah Santi memamerkan giginya sambil
mengangkat jarinya membentuk peace.
“Astaghfirullah, ada-ada saja kalian”
Mai menggelengkan kepalanya.
Gedung aliyah lantai 1, itulah
tempat Mai menuju. Maira masuk, suasana kelas sedikit ramai, ia bertanya-tanya
kenapa ramai dan ternyata kabarnya akan ada ustadz yang sedang PKL. Dan yang
membuat geger adalah karena kabarnya si ustadz ini ganteng. Mai hanya duduk
tanpa mendengarkan mereka. Tiba-tiba bel berbunyi, Abah Halim masuk bersama
seseorang yang umurnya kira-kira 25 tahun. Sontak teman-temannya meringis, Mai
hanya mendelikkan mata. Ia tak suka. Setelah Abah Halim pamit, orang itu mulai
mengenalkan dirinya, namanya Alan. Teman-teman kelas Mai berbisik-bisik sambil
ketawa ketiwi, berbeda dengan Mai yang bermuka tembok.
Bel istirahat berbunyi. Semua siswa
dan siswi aliyah keluar menyebar kesetiap penjuru penjual makanan. Ketika semua
anak kelas XII putri keluar, Mai tetap tak beranjak dari kelas, termenung.
Sampai akhirnya ada suara yang membuyarkan lamunannya.
“ Tidak mau membeli sesuatu?” tanya
orang itu
“ Tidak” jawab Mai singkat
Maira mendelik, ia tak suka
seseorang mengusiknya dengan cara apapun itu. Maira berdiri hendak pergi namun
sebelum ia pergi Ustadz Alan menyodorkan uang kepada Maira.
“ Saya tak butuh uang anda,
terimakasih”
“ Emang kamu punya uang/? “ ledeknya
“ Bukan urusan anda” jawab Mai
tegas. Dengan tak terduga perut Mai bersuara.
“ Ih suara apa tuh ? Oh haha kamu
lapar. Nih saya kasih uang beli lauk yang enak sana.”
Maira mengepalkan tangannya, matanya
sudah memanas tapi tiba-tiba ada dua tangan yang menggenggam tangannya dari
belakang,
“Istighfaar Mai, istighfaar..”
bisiknya. Mai menoleh kepada asal suara. Mata mereka menyiratkan untuk sabar.
Ustadz Alan pun pergi tanpa pamit.
“ Mai, kamu puasa?” Tanya mereka.
Mai hanya mengangguk.
“ Allah yubarik fiik” ucap mereka
bersama-sama.
***
***
Sore harinya, ba’da ashar semua
santri seperti biasa pergi ke masjid untuk acara Tahlil dan Istighosah bersama.
Ketika santri lain menuju ke masjid, berbeda dengan Mai, ia dipanggil Umi Aish
untuk memasak besar untuk para santri dan juga untuk para tamu. Acara dimulai,
semua santri tentu saja ikut. Dalem dan komplek santri sudah kosong. Tapi
ketika hendak ke ruang tamu, ia melihat seseorang masuk dengan tergesa-gesa
lalu merebahkan badannya di kursi tamu setelah itu disusul dengan
teman-temannya. Ketika salah seorang dari mereka hendak ke kamar mandi, ia
berpapasan dengan Tsuroyya yang hendak ke dapur. Tatapan Tsuroyya sulit
diartikan, tak selang lama Tsuroyya mendorong kursi roda nya dengan cepat ke
kamarnya. Mai memperjelas pandangannya ternyata orang itu adalah Ustadz Alan.
Mai berfikir kenapa mereka tidak ikut acara.
Setengah
jam setelah acara selesai, seluruh santri membuat barisan melingkar dilapangan
untuk makan bersama. Karena mereka adalah santri, jadi mereka tidak akan makan
dengan piring, tapi dengan menggelarkan daun pisang sebagai alas makan, membuat
barisan melingkar agar semua santri terbagi rata. Ketika santri lain makan
bersama di lapang, berbeda dengan teman-teman kamar Mai yang justru menyusul
Mai kedapur dan menyiapkan sendiri makanan mereka diatas daun pisang. Yang
membuat Mai bertanya-tanya kenapa mereka masih diam saja, belum memulai makan
mereka. Padahal biasanya, sekali lihat makanan sudah langsung ludes.
Adzan
berkumandang. Maira yang tadinya sedang melamun langsung bergegas mengambil air
minum dan meneguknya.
“
Maira…. Allah yubarik fiik” teriak teman-teman Maira “Selamat berbuka puasa
Mai” teriak Sarah.
“
Maira, sini. Kau harus makan di sampingku. Kan kalo berbuka harus sama yang
manis-manis” sontak semuanya tertawa termasuk Maira. Lagi-lagi hatinya
menghangat.
Setelah
makan-makan, Mai memutuskan pergi ke kamar Tsuroyya bertanya apakah ia
baik-baik saja setelah kejadian yang Mai lihat tadi. Ketika Mai masuk, ia kaget
karena mendapati Tsuroyya sedang menangis tersedu. Mai berbegas menghampirinya
dan langsung memeluknya, Tsuroyya pun memeluknya balik. Mai menenangkannya
namun tangisnya tak kian mereda, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan
cerita kemarin.
“Kamu ingin mendengar kelanjutan cerita yang kemarin?” tanya Mai hati-hati.
Tsuroyya mengangguk dan menyimpulkan sedikit senyuman.
“ Kebahagiannya
tak berlangsung lama, ia diculik oleh preman kota lalu djadikan budak oleh
mereka. Untungnya si putri hanya disuruh menyayi ke penjuru kota dibanding
budak-budak lainnya yang diperintah macam-macam seperti mencuri, mencelakai
orang dll. Namun uang yang ia dapatkan harus di berikam kepada preman itu dan
ia hanya mendapat sedikit dari penghasilannya, ia selalu berdoa semoga ia bisa
lolos dari cengkraman preman itu. Pada suatu hari, ketika ia sedang di sebuah
restoran, sebuah keluarga memanggilnya untuk menyanyikan lagu bahagia untuk
anak mereka yang sedang berulang tahun. Si anak yang tadinya cemberut jadi
tersenyum sedikit tapi tak berbicara sedikitpun. Karena si putri sangat
menarik, si keluarga tersebut menculik si putri ke kediaman mereka. Yang
membuat si putri terkejut itu, ternyata keluarga yang menculiknya adalah
keluarga kerajanan. Ia di perlakukan baik dan kehidupannya dijamin oleh mereka.
Mereka sangat menyayanginya, bahkan putri mahkotanya sangat dekat sekali dengan
si putri”
Setelah selesai cerita, Tsuroyya
tertidur tanpa pengetahuan Mai, Mai hanya tersenyum. Tanpa sadar, ia pun ikut
terlelap.
***
***
Tiba-tiba Mai terbangun tengah
malam, teringat ia belum sholat isya. Ia baru sadar ternyata ia terlelap di
kamar nya Tsuroyya, ia pun bergegas menuju kamar mandi untuk berwudlu setelah
itu menuju masjid. Mai berjalan menyusuri jalan yang lumayan gelap. Tentu saja,
karena para santri pada pukul ini masih terlelap dalam mimpinya. Tak jauh dari
masjid ia melihat seorang laki-laki baru keluar dari masjid. Sosoknya tidak
jelas, tapi setelah ia dekati, ia adalah seorang laki-laki yang sama sekali tidak
ia kenal, dan yang membuat Mai terkejut adalah karena lelaki itu memakai sandal
yang dipakai Abah Halim. Melihat hal itu Mai ingin sekali melabraknya.
“ Eh kamu..” yang di panggil malah
biasa-biasa saja, wajah tanpa dosa lebih tepatnya. Ia melihat Mai seolah bertanya
‘ kamu bicara sama saya?’
“ Eh kamu, tahu gak sih itu
sendalnya siapa?”
“Ya sandal saya lah”
“ Eleeeh, pake ngaku-ngaku segala
lagi, itu kan sendalnya Abah Halim” semprot Mai
“Diih sotoy lu” ucapnya dengan nada
meledek
“ Malah ga ngaku lagi, dasar tukang
ghosob”
“ Dih dasar cewe ember”
“ Ngeyel ya, udah ghosob, ga ngaku,
ngata-ngatain lagi”
Mai semakin gusar dibuatnya, si
cowok itu pun hanya memasang wajah tak bersalah. Tak lama setelah itu mereka
dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang ternyata Ustadz Alan. Mai terkejut
dan lelaki itu hanya memasang wajah tak suka.
“ Humaira, sedang apa kamu disini?”
ucapnya dengan nada kemenangan
“ Saya sedang memergoki laki-laki
itu ghosob lalu saya..”
“ Benarkah begitu?” potongnya
“ Tahu apa anda tentang pondok ini?
Anda hanya tamu disini!” tegas lelaki itu. Humaira menatapnya tak percaya.
“ Santri tidak tahu sopan santun ya
kamu”
“ Anda yang tidak tahu sopan santun!
Menghakimi tanpa tahu asal usul. Apakah begitu sekolah anda mengajarkan anda?”
kecam lelaki itu
Ustadz Alan menggeram, tak terima
atas apa yang dikatakan lelaki itu. ustadz Alan berlalu seraya berkata “ Saya
akan melaporkan kalian berdua “
Humaira menunduk menahan air matanya
dan mengepalkan tangannya. Marah, sebal menjadi satu. Sebelum ia pergi, Mai
menatap lelaki ghosob menyebalkan itu dan lelaki itu membalas pandangannya
seraya berkata “ Semuanya akan baik-baik saja” lalu ia pergi. Humaira pun masuk
ke dalam masjid untuk sholat isya sekaligus sholat malam. Tak terasa air
matanya berlinang begitu deras. Ia tak mengharap esok hari datang, ia ingin
malam berputar lebih lama.
***
***
Jum’at pagi, seperti biasa para
santri berolahraga, setelah itu bersih-bersih komplek atau biasa santri sebut
sebagai roan kubro. Semua sangat senang menyambut hari jum’at karena libur,
kecuali Mai. Setelah roan kubro selesai, biasanya anak-anak sekamarnya
makan-makan bersama atau mengobrol ria tapi berbeda dengan Mai hari ini. Ia
murung bahkan tangannya tidak lepas dari mushafnya di pojok kamarnya.
Tiba-tiba semua santri dikejutkan
dengan pengumuman yang mengharuskan mereka kumpul di lapangan pondok. Semua
penasaran dengan apa yang terjadi. Karena biasanya jika ada pengumuman mendadak
seperti ini, akan ada mu’aqobah bagi santri yang melanggar peraturan. Santi dan
Sarah mengajak mereka pergi tapi Humaira menolak dan malah memeluk mereka
sampai mereka terheran-heran. Tak lama dari itu, pengurus putri memanggil Mai
untuk mengadap Umi Aish dan Abah di dalemnya.
Mai berjalan tanpa berhenti
menundukkan kepalanya menuju dalem. Disana sudah ada Umi, Abah, asatidz dan
satu santri dibalik satir yang ia tebak dia adalah si cowok ghosob. Mereka
memandang Mai dengan tatapan tak percaya. Mai menguatkan hatinya, ia mencoba
tidak menundukkan lagi kepalanya lagi dan menegakkan kepalanya. Ustadz Alan
mulai berbicara kronologi kejadian malam tadi dengan runtut sesuai dengan apa
yang ia lihat, sampai akhirnya lelaki ghosob itu menyangkal.
“ Anda tidak tahu apa alasan kami
disana, jangan asal menghakimi seenaknya” teriak lelaki itu
“ Jaga ucapanmu Alfa!” bentak Abah.
Mai baru tahu nama lelaki itu Alfa
“ Tapi saya tidak melakukan itu bah” ucapnya tegas
“Ini hanya salah faham bah” tambah
Mai menguatkan
“Kalau begitu bersumpahlah bahwa
kalian tidak melakukan semua itu”
“Saya tidak pernah diajarkan untuk
bersumpah pada hal sebesar apapun” ucap Mai dan Alfa bersamaan
“Apakah Umi dan abah tidak
mempercayai santrinya sendiri dan lebih percaya orang lain ?” tanya Alfa
menohok
“Alan. Langsung saja hukum mereka”
ucap Abah spontan. Lelaki yang bernama Alfa itu memukul satir dan pergi
meninggalkan ruangan. Tinggalah Mai yang akhirnya Umi dan beberapa pengurus
mengantar Mai menuju tempat berkumpulnya para santri putri. Akhirnya, Mai
diguyur didepan mereka semua dan pada malam harinya ia harus membersihkan kamar
mandi.
***
***
Malam harinya, Mai sudah siap
membersihkan kamar mandi putri dengan perasaan yang legowo meskipun sebenarnya
ia sangat tidak bersalah. Tapi tak apa, pikirnya. Itung-itung ibadah. Tak lama
berselang Sarah dan Santi menghampiri Mai yang sedang focus bersih-bersih.
“Mai” sapa mereka. Mai hanya menoleh
dan tersenyum lemah
“Jangan sedih gitu dong, sini aku
mau ngomong sesuatu yang lagi viral nih” ucap Santi
“Di dalem lagi rame, karena uang
pondok hilang. Sekarang pengurus sedang mengecek seluruh kamar secara mendadak,
Razia gitu lah” jawab Sarah. Mai hanya melamun mendapat berita itu, entah apa
yang harus ia respon. Entah sedih, marah ataupun apalah ia tak mengerti.
“ Oy jangan melamun, Yuk kita
bersihin bareng-bareng”
“ Eh beneran? Bertiga?”
“Engga laah” Tiba-tiba Sarah
berteriak memanggil teman-temannya yang ternyata teman satu kamar Mai, 8 anak
menghampiri mereka bertiga dengan penuh semangat.
“Kalian percaya sama aku?” tanya Mai
kepada mereka
“Iyalah Mai, kita tahu betul siapa
kamu, disbanding mereka” Humaira semakin terharu dengan perlakuan
teman-temannya. Ternyata masih banyak orang yang peduli kepadanya.
Setelah selesai membersihkan kamar
mandi, Mai bergegas ke kamar Tsuroyya, ia takut mendapati Tsuroyya menangis
seperti malam sebelumnya. Mai takut sesuatu terjadi kepadanya. Mai masuk ke
kamarnya, ia lihat Tsuroyya sedang menulis dan melukis sesuatu namun tangannya
berhenti ketika melihat Mai masuk. Dan meminta Mai melanjutkan ceritanya.
“ Kamu mau dengar lanjutan
ceritanya?” tanya Mai. Tsuroyya mengangguk semangat.
“ Jadi, pada suatu hari kerajaan mendapat tamu yang entah dari mana
datangnya. Si putri curiga karena banyak kejanggalan yang ia rasakan tapi tidak
dengan keluarga kerajaan. Si putri merasa kalau sebenarya putri mahkota
merasakan apa yang ia rasakan tapi sayang ia tak pernah bicara dan
mengungkapkan apapun seolah semuanya baik-baik saja. Sampai akhirnya, suatu
malam si putri memergoki seorang prajurit yang berbuat salah lalu ia melabraknya,
dan naasnya malam itu si tamu melihat apa yang mereka lakukan dan salah dalam
menafsirkan lalu melaporkan kepada raja bahwa mereka telah berbuat yang
tidak-tidak. Si putri dan prajurit itu membela tapi Raja dan Ratu tidak
percaya. Pada akhirnya mereka dihukum. Si putri sangat sedih. Tak lama setelah
kejadian itu sebagian harta kerajaan hilang dan sampai sekarang tidak diketahui
siapa pelakunya.” henti Mai. Tsuroyya
menangis mendengar cerita itu lalu memeluk Mai. Ini memang bukan yang
pertama kali bagi Mai melihat Tsuroyya menangis, tapi dari caranya memeluknya
seolah Tsuroyya tahu sesuatu.
Hari-hari sulit bisa Mai jalani
dengan lancar dan hatinya juga sudah mulai stabil, hanya saja setiap melihat
Ustadz Alan darahnya selalu naik. Walau bagaimana pun ia tetap ustadznya yang
harus ia hormati. Siang ini tiba-tiba semua santri kumpul lagi di Gor DarIz.
Humaira bertanya-tanya kenapa para santri kumpul lagi.
“Loh Sar, kok pada ke gor lagi sih?
Ada acara apa?” tanya Mai
“Perpisahan Mai, dengan ustadz PKL.
Kan ada undangannya” jawab Sarah
“Kok aku gak dapet sih?” tanya Mai
“Masa?” tanyanya balik.
“Iya, ya udah deh aku ikut” Mai memutuskan untuk ikut.
Gor sudah di hias sedemikian rupa
tak lupa dengan makanan hidangan untuk para undangan. ‘Semeriah ini’ pikir Mai.
Acara demi acara berjalan seperti semestinya, normal, tak ada sesuatu yang
istimewa. Ya, layaknya perpisahan-perpisahan pada umumnya. Sampai akhirnya di
penghujung acara, Ustadz Alan menyampaikan sambutan sekaligus ucapan maaf dan
terimakasih. Namun, sebelum ia turun dari mimbar tiba-tiba Tsuroyya datang dari
jauh bersama beberapa polisi disampingnya sambil berteriak yang membuat Mai,
Umi, Abah, dan para santri tercengang.
“Tangkap dia! dia buronan, dia
penipu, pencuri, pengkhianat. Dia yang mencuri uang pondok!” teriak nya
menggebu-gebu. Tak ada satu orang pun yang
bisa berkutik terutama yang tertuduh. Ia begitu tenang, dan yang tak
disangka Ustadz Alan mengeluarkan pistol dari jasnya dan menodongkan pistolnya
kepada Tsuroyya. Sadar akan hal itu, Tsuroyya tidak menghindar justru malah
tersenyum. Semua santri berlari, Umi dan Abah yang melihat itu berteriak agar
ia lari.
Door!
Alan melepaskan pelurunya. Tsuroyya
menutup matanya, abah dan umi sudah berteriak histeris. Tapi ia tidak sama
sekali merasakan peluru itu menembus dirinya. Dan ketika ia membuka matanya,
Mai yang posisinya tak jauh didepannya sudah tergeleteak dan berdaya bersimbah
darah yang keluar dari bahunya. Semua polisi sudah penuh mengepung Pondok.
Semua santri kocar kacir. Dan Alfa, lelaki itu masih tak berkutik dari tempat
nya semula. Tangannya mengepal. Umi, Abah dan beberapa santri menghampiri Mai.
Dan Alfa, memutuskan untuk menenangkan para santri yang sudah seliweran
kemana-mana.
***
***
5
tahun berlalu
Lembaran kelam dan berdarah yang siapapun
yang ada pada saat itu tidak bisa melupakannya hal itu, terutama keluarga besar
pondok. Humaira, santri sekaligus siswi teladan dan berani pada masa itu. Tak
hanya pintar dan akhlaqnya baik tapi juga ia hampir mengorbankan nyawanya untuk
keluarga pondok. Sebagai balas budi, dia diangkat sebagai anak oleh Abah Halim
dan Umi Aisy, karena kebetulan ia juga yatim piatu. Dan sekarang ia sudah lulus
dari universitas di luar negeri.
Disisi lain, Alfa juga dikenal sama
baiknya dengan Mai, dan ia juga melanjutkan studinya ke luarnegeri. Padahal 5
tahun lalu, Alfa dan Mai mendapatkan ta’ziran bersama. Dan Tsuroyya sekarang
sudah duduk di MA di pondoknya sendiri , mengganti posisi Mai yang cerdas dan
kritis. Dan ia sudah mau berbicara sejak kejadian yang memilukan itu. dan dari
kisah yang Mai ceritakan kepada Tsuroyya, ia tahu itu cerita Mai sendiri dan
membuat Tsuroyya harus lebih mensyukuri hidupnya, karena bukan hanya dia yang
menderita di dunia ini. Dan Allah tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan makhluknya.
Komentar
Posting Komentar