Shehrazad Milenium


Ketika hobi para santri pada umumnya adalah bercerita dari mulai yang berfaidah sampai yang unfaidah. Berbeda dengan santri satu ini, Humaira Shehrazad namanya. Perangai dan akhlaq yang indah seperti namanya, hanya saja ia jarang tersenyum karena kehidupannya yang keras saat ia hidup di kota tepatnya di jalanan. Ia hidup sebatang kara dengan lika liku hidup tiada tara. Namun sesuai dengan namanya ia ingin menjadi seseorang yang berarti bagi sekitarnya, paling tidak mempertahankan derajat kemulian wanita.
Mata-mata itu perlahan terpejam dan beringsut ke tempat yang selayaknya. Yang masih bertahan adalah Tsuroyya, Tsuroyya adalah putri dari Umi Aisy dan Abah Halim pengasuh pondok ini. Ia cantik, tapi sayang ia tak bisa berjalan dan berbicara, tak mau berbicara tepatnya. Namun sejak pertemuannya dengan Humaira, ia mulai sedikit bisa berbagi cerita dengannya.
            “Dahulu kala ada seorang putri kerajaan, ia hidup bahagia bersama kedua orangtuanya yang sangat menyayanginya. Sampai seiring berjalannya waktu, kebahagiaan itu perlahan musnah. Ada pemberontakkan dari sekte yang entah datang dari mana yang mana menyerang semua anggota kerajaan dan membantainya. Sang putri melihat pembantaian itu dengan mata kepala nya sendiri, ia melarikan diri. Jadilah dia satu-satunya keluarga yang selamat dari pembantaian tersebut. Dengan ketakutan yang masih mengguncangnya, ia lari ke kota, tapi tak ada satu orang pun yang mengenali dirinya. Ia bingung akan menjadi apa dia setelah ini. Akhirnya ia menyusuri penjuru kota sambil menyanyi dengan lirih sambil sesekali istirahat dipersimpangan jalan. Tiba-tiba setiap orang sedang lalu lalang memberinya koin, sampai akhirnya ia bisa membeli makanan dari koin tersebut setelah ia tidak makan 3 hari ini. Karena tragedi itu, ia selalu bernyanyi menyusuri kota berharap ia bisa mengumpulkan koin-koin itu.” Humaira menghela nafas sebentar. Tsuroyya mengisyaratkan untuk melanjutkan ceritanya. Humaira menggeleng “Sudah malam, besok aku lanjutkan lagi ceritanya” ucapnya dengan lembut.  
                                                                           ***
Cianjur, PP Daarul Izdihaar adalah pondok semi modern yang sudah tercium banyak prestasinya baik dari para santri yang masih menetap maupun para alumninya. Pondok ini diasuh oleh Umi Aisy dan Abah Halim. Memang  pondok ini belum menampung banyak santri, tapi justru dengan sedikitnya itu para pengasuh pondok bisa lebih mudah mengontrol para santri. Di pondok ini bukan hanya mengkaji kitab-kitab tsurots tapi juga menghafal al-quran. 
            Lagi-lagi bola mata yang jernih itu selalu memandang jauh dengan pandangan kosong, ini sudah yang kesekian kalinya. Masih mengenakan mukena, ia terduduk di kamar mandi yang ada di belakang masjid sekalian mengantri mandi. Ia tak sendirian hanya saja teman-temannya menunggu antrian sambil bermimpi namun ada juga yang sambil mencuci. Ya, begitulah santri dimanapun dan kapanpun ada saja tingkahnya.
            “ Hei Mai kau jangan melamunkan aku lah, aku kan ada disamping kau” ucap Santi, teman dekat Mai yang berasal dari Padang. Ia adalah temannya yang paling somplak. Humaira atau Mai menoleh dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan. Yang ditoleh pun hanya cecengesan tak jelas.
            “Kenapa lagi dengan kau Mai?” tanya Santi
            “ Aku hanya sedang rindu orangtuaku” jawab Mai pelan
         “ Hei, kalian berdua, ayo cepetan bentar lagi ngaji” teriak Sarah. Satu lagi teman dekat Mai yang tidak kalah somplak dengan Santi. Keduanya pun menoleh dan mengisyaratkan bahwa mereka mendengar teriakan super rombeng itu.
      Lantai satu, ndalem Abah dan Umi adalah tempat ngaji santri putri. Setengah jam berlalu menunggu Umi namun beliau tak kunjung datang. Mai masih bertahan dengan kegiatan nderes Al-Qurannya sedangkan yang lain sudah tergeletak dilantai. Berbeda dengan yang lain dua sahabat Mai malah menggosip sambil cengengesan. Mai mendelik kepada mereka yang sedang berbisik-bisik.
        “Barang siapa yang membicarakan keburukan orang lain lalu benar itu ghibah dan kalau ternyata keburukan nya itu salah maka itu fitnah” sindir Mai dengan mata masih terfokus pada mushafnya. Yang disindir menengok kepada Mai sambil nyegir kuda.
            “Tadi kita dapet surat dari dalem nya Umi kalo umi sedang ada tamu” jelas Sarah.
            “Itu doang yang bikin kalian berisik?” tanya Mai keheranan.
        “Oh kalau berisik sih karena kangkang dalemnya yang ganteng, Mai” tambah Santi memamerkan giginya sambil mengangkat jarinya membentuk peace.
            “Astaghfirullah, ada-ada saja kalian” Mai menggelengkan kepalanya.
            Gedung aliyah lantai 1, itulah tempat Mai menuju. Maira masuk, suasana kelas sedikit ramai, ia bertanya-tanya kenapa ramai dan ternyata kabarnya akan ada ustadz yang sedang PKL. Dan yang membuat geger adalah karena kabarnya si ustadz ini ganteng. Mai hanya duduk tanpa mendengarkan mereka. Tiba-tiba bel berbunyi, Abah Halim masuk bersama seseorang yang umurnya kira-kira 25 tahun. Sontak teman-temannya meringis, Mai hanya mendelikkan mata. Ia tak suka. Setelah Abah Halim pamit, orang itu mulai mengenalkan dirinya, namanya Alan. Teman-teman kelas Mai berbisik-bisik sambil ketawa ketiwi, berbeda dengan Mai yang bermuka tembok.
            Bel istirahat berbunyi. Semua siswa dan siswi aliyah keluar menyebar kesetiap penjuru penjual makanan. Ketika semua anak kelas XII putri keluar, Mai tetap tak beranjak dari kelas, termenung. Sampai akhirnya ada suara yang membuyarkan lamunannya.
            “ Tidak mau membeli sesuatu?” tanya orang itu
            “ Tidak” jawab Mai singkat
            Maira mendelik, ia tak suka seseorang mengusiknya dengan cara apapun itu. Maira berdiri hendak pergi namun sebelum ia pergi Ustadz Alan menyodorkan uang kepada Maira.
            “ Saya tak butuh uang anda, terimakasih”
            “ Emang kamu punya uang/? “ ledeknya
            “ Bukan urusan anda” jawab Mai tegas. Dengan tak terduga perut Mai bersuara.
            “ Ih suara apa tuh ? Oh haha kamu lapar. Nih saya kasih uang beli lauk yang enak sana.”
            Maira mengepalkan tangannya, matanya sudah memanas tapi tiba-tiba ada dua tangan yang menggenggam tangannya dari belakang,
            “Istighfaar Mai, istighfaar..” bisiknya. Mai menoleh kepada asal suara. Mata mereka menyiratkan untuk sabar. Ustadz Alan pun pergi tanpa pamit.
            “ Mai, kamu puasa?” Tanya mereka. Mai hanya mengangguk.
            “ Allah yubarik fiik” ucap mereka bersama-sama.
                                                                               ***
            Sore harinya, ba’da ashar semua santri seperti biasa pergi ke masjid untuk acara Tahlil dan Istighosah bersama. Ketika santri lain menuju ke masjid, berbeda dengan Mai, ia dipanggil Umi Aish untuk memasak besar untuk para santri dan juga untuk para tamu. Acara dimulai, semua santri tentu saja ikut. Dalem dan komplek santri sudah kosong. Tapi ketika hendak ke ruang tamu, ia melihat seseorang masuk dengan tergesa-gesa lalu merebahkan badannya di kursi tamu setelah itu disusul dengan teman-temannya. Ketika salah seorang dari mereka hendak ke kamar mandi, ia berpapasan dengan Tsuroyya yang hendak ke dapur. Tatapan Tsuroyya sulit diartikan, tak selang lama Tsuroyya mendorong kursi roda nya dengan cepat ke kamarnya. Mai memperjelas pandangannya ternyata orang itu adalah Ustadz Alan. Mai berfikir kenapa mereka tidak ikut acara.
Setengah jam setelah acara selesai, seluruh santri membuat barisan melingkar dilapangan untuk makan bersama. Karena mereka adalah santri, jadi mereka tidak akan makan dengan piring, tapi dengan menggelarkan daun pisang sebagai alas makan, membuat barisan melingkar agar semua santri terbagi rata. Ketika santri lain makan bersama di lapang, berbeda dengan teman-teman kamar Mai yang justru menyusul Mai kedapur dan menyiapkan sendiri makanan mereka diatas daun pisang. Yang membuat Mai bertanya-tanya kenapa mereka masih diam saja, belum memulai makan mereka. Padahal biasanya, sekali lihat makanan sudah langsung ludes.
Adzan berkumandang. Maira yang tadinya sedang melamun langsung bergegas mengambil air minum dan meneguknya.
“ Maira…. Allah yubarik fiik” teriak teman-teman Maira “Selamat berbuka puasa Mai” teriak Sarah.
“ Maira, sini. Kau harus makan di sampingku. Kan kalo berbuka harus sama yang manis-manis” sontak semuanya tertawa termasuk Maira. Lagi-lagi hatinya menghangat.
Setelah makan-makan, Mai memutuskan pergi ke kamar Tsuroyya bertanya apakah ia baik-baik saja setelah kejadian yang Mai lihat tadi. Ketika Mai masuk, ia kaget karena mendapati Tsuroyya sedang menangis tersedu. Mai berbegas menghampirinya dan langsung memeluknya, Tsuroyya pun memeluknya balik. Mai menenangkannya namun tangisnya tak kian mereda, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan cerita kemarin.
“Kamu ingin mendengar kelanjutan cerita yang kemarin?” tanya Mai hati-hati. Tsuroyya mengangguk dan menyimpulkan sedikit senyuman.
“ Kebahagiannya tak berlangsung lama, ia diculik oleh preman kota lalu djadikan budak oleh mereka. Untungnya si putri hanya disuruh menyayi ke penjuru kota dibanding budak-budak lainnya yang diperintah macam-macam seperti mencuri, mencelakai orang dll. Namun uang yang ia dapatkan harus di berikam kepada preman itu dan ia hanya mendapat sedikit dari penghasilannya, ia selalu berdoa semoga ia bisa lolos dari cengkraman preman itu. Pada suatu hari, ketika ia sedang di sebuah restoran, sebuah keluarga memanggilnya untuk menyanyikan lagu bahagia untuk anak mereka yang sedang berulang tahun. Si anak yang tadinya cemberut jadi tersenyum sedikit tapi tak berbicara sedikitpun. Karena si putri sangat menarik, si keluarga tersebut menculik si putri ke kediaman mereka. Yang membuat si putri terkejut itu, ternyata keluarga yang menculiknya adalah keluarga kerajanan. Ia di perlakukan baik dan kehidupannya dijamin oleh mereka. Mereka sangat menyayanginya, bahkan putri mahkotanya sangat dekat sekali dengan si putri”
            Setelah selesai cerita, Tsuroyya tertidur tanpa pengetahuan Mai, Mai hanya tersenyum. Tanpa sadar, ia pun ikut terlelap. 
                                                                                ***
            Tiba-tiba Mai terbangun tengah malam, teringat ia belum sholat isya. Ia baru sadar ternyata ia terlelap di kamar nya Tsuroyya, ia pun bergegas menuju kamar mandi untuk berwudlu setelah itu menuju masjid. Mai berjalan menyusuri jalan yang lumayan gelap. Tentu saja, karena para santri pada pukul ini masih terlelap dalam mimpinya. Tak jauh dari masjid ia melihat seorang laki-laki baru keluar dari masjid. Sosoknya tidak jelas, tapi setelah ia dekati, ia adalah seorang laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal, dan yang membuat Mai terkejut adalah karena lelaki itu memakai sandal yang dipakai Abah Halim. Melihat hal itu Mai ingin sekali melabraknya.
            “ Eh kamu..” yang di panggil malah biasa-biasa saja, wajah tanpa dosa lebih tepatnya. Ia melihat Mai seolah bertanya ‘ kamu bicara sama saya?’
            “ Eh kamu, tahu gak sih itu sendalnya siapa?”
            “Ya sandal saya lah”
            “ Eleeeh, pake ngaku-ngaku segala lagi, itu kan sendalnya Abah Halim” semprot Mai
            “Diih sotoy lu” ucapnya dengan nada meledek
            “ Malah ga ngaku lagi, dasar tukang ghosob”
            “ Dih dasar cewe ember”
            “ Ngeyel ya, udah ghosob, ga ngaku, ngata-ngatain lagi”
            Mai semakin gusar dibuatnya, si cowok itu pun hanya memasang wajah tak bersalah. Tak lama setelah itu mereka dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang ternyata Ustadz Alan. Mai terkejut dan lelaki itu hanya memasang wajah tak suka.
            “ Humaira, sedang apa kamu disini?” ucapnya dengan nada kemenangan
            “ Saya sedang memergoki laki-laki itu ghosob lalu saya..”
            “ Benarkah begitu?” potongnya
            “ Tahu apa anda tentang pondok ini? Anda hanya tamu disini!” tegas lelaki itu. Humaira menatapnya tak percaya.
            “ Santri tidak tahu sopan santun ya kamu”
            “ Anda yang tidak tahu sopan santun! Menghakimi tanpa tahu asal usul. Apakah begitu sekolah anda mengajarkan anda?” kecam lelaki itu
            Ustadz Alan menggeram, tak terima atas apa yang dikatakan lelaki itu. ustadz Alan berlalu seraya berkata “ Saya akan melaporkan kalian berdua “
            Humaira menunduk menahan air matanya dan mengepalkan tangannya. Marah, sebal menjadi satu. Sebelum ia pergi, Mai menatap lelaki ghosob menyebalkan itu dan lelaki itu membalas pandangannya seraya berkata “ Semuanya akan baik-baik saja” lalu ia pergi. Humaira pun masuk ke dalam masjid untuk sholat isya sekaligus sholat malam. Tak terasa air matanya berlinang begitu deras. Ia tak mengharap esok hari datang, ia ingin malam berputar lebih lama.
                                                                               ***
            Jum’at pagi, seperti biasa para santri berolahraga, setelah itu bersih-bersih komplek atau biasa santri sebut sebagai roan kubro. Semua sangat senang menyambut hari jum’at karena libur, kecuali Mai. Setelah roan kubro selesai, biasanya anak-anak sekamarnya makan-makan bersama atau mengobrol ria tapi berbeda dengan Mai hari ini. Ia murung bahkan tangannya tidak lepas dari mushafnya di pojok kamarnya.
            Tiba-tiba semua santri dikejutkan dengan pengumuman yang mengharuskan mereka kumpul di lapangan pondok. Semua penasaran dengan apa yang terjadi. Karena biasanya jika ada pengumuman mendadak seperti ini, akan ada mu’aqobah bagi santri yang melanggar peraturan. Santi dan Sarah mengajak mereka pergi tapi Humaira menolak dan malah memeluk mereka sampai mereka terheran-heran. Tak lama dari itu, pengurus putri memanggil Mai untuk mengadap Umi Aish dan Abah di dalemnya.
            Mai berjalan tanpa berhenti menundukkan kepalanya menuju dalem. Disana sudah ada Umi, Abah, asatidz dan satu santri dibalik satir yang ia tebak dia adalah si cowok ghosob. Mereka memandang Mai dengan tatapan tak percaya. Mai menguatkan hatinya, ia mencoba tidak menundukkan lagi kepalanya lagi dan menegakkan kepalanya. Ustadz Alan mulai berbicara kronologi kejadian malam tadi dengan runtut sesuai dengan apa yang ia lihat, sampai akhirnya lelaki ghosob itu menyangkal.
            “ Anda tidak tahu apa alasan kami disana, jangan asal menghakimi seenaknya” teriak lelaki itu
            “ Jaga ucapanmu Alfa!” bentak Abah. Mai baru tahu nama lelaki itu Alfa
            “ Tapi  saya tidak melakukan itu bah” ucapnya tegas
            “Ini hanya salah faham bah” tambah Mai menguatkan
            “Kalau begitu bersumpahlah bahwa kalian tidak melakukan semua itu”
            “Saya tidak pernah diajarkan untuk bersumpah pada hal sebesar apapun” ucap Mai dan Alfa bersamaan
            “Apakah Umi dan abah tidak mempercayai santrinya sendiri dan lebih percaya orang lain ?” tanya Alfa menohok
            “Alan. Langsung saja hukum mereka” ucap Abah spontan. Lelaki yang bernama Alfa itu memukul satir dan pergi meninggalkan ruangan. Tinggalah Mai yang akhirnya Umi dan beberapa pengurus mengantar Mai menuju tempat berkumpulnya para santri putri. Akhirnya, Mai diguyur didepan mereka semua dan pada malam harinya ia harus membersihkan kamar mandi.
                                                                                  ***
            Malam harinya, Mai sudah siap membersihkan kamar mandi putri dengan perasaan yang legowo meskipun sebenarnya ia sangat tidak bersalah. Tapi tak apa, pikirnya. Itung-itung ibadah. Tak lama berselang Sarah dan Santi menghampiri Mai yang sedang focus bersih-bersih.
            “Mai” sapa mereka. Mai hanya menoleh dan tersenyum lemah
            “Jangan sedih gitu dong, sini aku mau ngomong sesuatu yang lagi viral nih” ucap Santi
            “Di dalem lagi rame, karena uang pondok hilang. Sekarang pengurus sedang mengecek seluruh kamar secara mendadak, Razia gitu lah” jawab Sarah. Mai hanya melamun mendapat berita itu, entah apa yang harus ia respon. Entah sedih, marah ataupun apalah ia tak mengerti.
            “ Oy jangan melamun, Yuk kita bersihin bareng-bareng”
            “ Eh beneran? Bertiga?”
            “Engga laah” Tiba-tiba Sarah berteriak memanggil teman-temannya yang ternyata teman satu kamar Mai, 8 anak menghampiri mereka bertiga dengan penuh semangat.
            “Kalian percaya sama aku?” tanya Mai kepada mereka
            “Iyalah Mai, kita tahu betul siapa kamu, disbanding mereka” Humaira semakin terharu dengan perlakuan teman-temannya. Ternyata masih banyak orang yang peduli kepadanya.
            Setelah selesai membersihkan kamar mandi, Mai bergegas ke kamar Tsuroyya, ia takut mendapati Tsuroyya menangis seperti malam sebelumnya. Mai takut sesuatu terjadi kepadanya. Mai masuk ke kamarnya, ia lihat Tsuroyya sedang menulis dan melukis sesuatu namun tangannya berhenti ketika melihat Mai masuk. Dan meminta Mai melanjutkan ceritanya.
            “ Kamu mau dengar lanjutan ceritanya?” tanya Mai. Tsuroyya mengangguk semangat.
            “ Jadi, pada suatu hari  kerajaan mendapat tamu yang entah dari mana datangnya. Si putri curiga karena banyak kejanggalan yang ia rasakan tapi tidak dengan keluarga kerajaan. Si putri merasa kalau sebenarya putri mahkota merasakan apa yang ia rasakan tapi sayang ia tak pernah bicara dan mengungkapkan apapun seolah semuanya baik-baik saja. Sampai akhirnya, suatu malam si putri memergoki seorang prajurit yang berbuat salah lalu ia melabraknya, dan naasnya malam itu si tamu melihat apa yang mereka lakukan dan salah dalam menafsirkan lalu melaporkan kepada raja bahwa mereka telah berbuat yang tidak-tidak. Si putri dan prajurit itu membela tapi Raja dan Ratu tidak percaya. Pada akhirnya mereka dihukum. Si putri sangat sedih. Tak lama setelah kejadian itu sebagian harta kerajaan hilang dan sampai sekarang tidak diketahui siapa pelakunya.” henti Mai. Tsuroyya  menangis mendengar cerita itu lalu memeluk Mai. Ini memang bukan yang pertama kali bagi Mai melihat Tsuroyya menangis, tapi dari caranya memeluknya seolah Tsuroyya tahu sesuatu.
            Hari-hari sulit bisa Mai jalani dengan lancar dan hatinya juga sudah mulai stabil, hanya saja setiap melihat Ustadz Alan darahnya selalu naik. Walau bagaimana pun ia tetap ustadznya yang harus ia hormati. Siang ini tiba-tiba semua santri kumpul lagi di Gor DarIz. Humaira bertanya-tanya kenapa para santri kumpul lagi.
            “Loh Sar, kok pada ke gor lagi sih? Ada acara apa?” tanya Mai
            “Perpisahan Mai, dengan ustadz PKL. Kan ada undangannya” jawab Sarah
            “Kok aku gak dapet sih?” tanya Mai
            “Masa?” tanyanya balik.
            “Iya, ya udah deh aku ikut”  Mai memutuskan untuk ikut.
            Gor sudah di hias sedemikian rupa tak lupa dengan makanan hidangan untuk para undangan. ‘Semeriah ini’ pikir Mai. Acara demi acara berjalan seperti semestinya, normal, tak ada sesuatu yang istimewa. Ya, layaknya perpisahan-perpisahan pada umumnya. Sampai akhirnya di penghujung acara, Ustadz Alan menyampaikan sambutan sekaligus ucapan maaf dan terimakasih. Namun, sebelum ia turun dari mimbar tiba-tiba Tsuroyya datang dari jauh bersama beberapa polisi disampingnya sambil berteriak yang membuat Mai, Umi, Abah, dan para santri tercengang.
            “Tangkap dia! dia buronan, dia penipu, pencuri, pengkhianat. Dia yang mencuri uang pondok!” teriak nya menggebu-gebu. Tak ada satu orang pun yang  bisa berkutik terutama yang tertuduh. Ia begitu tenang, dan yang tak disangka Ustadz Alan mengeluarkan pistol dari jasnya dan menodongkan pistolnya kepada Tsuroyya. Sadar akan hal itu, Tsuroyya tidak menghindar justru malah tersenyum. Semua santri berlari, Umi dan Abah yang melihat itu berteriak agar ia lari.
            Door!
            Alan melepaskan pelurunya. Tsuroyya menutup matanya, abah dan umi sudah berteriak histeris. Tapi ia tidak sama sekali merasakan peluru itu menembus dirinya. Dan ketika ia membuka matanya, Mai yang posisinya tak jauh didepannya sudah tergeleteak dan berdaya bersimbah darah yang keluar dari bahunya. Semua polisi sudah penuh mengepung Pondok. Semua santri kocar kacir. Dan Alfa, lelaki itu masih tak berkutik dari tempat nya semula. Tangannya mengepal. Umi, Abah dan beberapa santri menghampiri Mai. Dan Alfa, memutuskan untuk menenangkan para santri yang sudah seliweran kemana-mana.
                                                                                    ***
5 tahun berlalu
            Lembaran kelam dan berdarah yang siapapun yang ada pada saat itu tidak bisa melupakannya hal itu, terutama keluarga besar pondok. Humaira, santri sekaligus siswi teladan dan berani pada masa itu. Tak hanya pintar dan akhlaqnya baik tapi juga ia hampir mengorbankan nyawanya untuk keluarga pondok. Sebagai balas budi, dia diangkat sebagai anak oleh Abah Halim dan Umi Aisy, karena kebetulan ia juga yatim piatu. Dan sekarang ia sudah lulus dari universitas di luar negeri.
            Disisi lain, Alfa juga dikenal sama baiknya dengan Mai, dan ia juga melanjutkan studinya ke luarnegeri. Padahal 5 tahun lalu, Alfa dan Mai mendapatkan ta’ziran bersama. Dan Tsuroyya sekarang sudah duduk di MA di pondoknya sendiri , mengganti posisi Mai yang cerdas dan kritis. Dan ia sudah mau berbicara sejak kejadian yang memilukan itu. dan dari kisah yang Mai ceritakan kepada Tsuroyya, ia tahu itu cerita Mai sendiri dan membuat Tsuroyya harus lebih mensyukuri hidupnya, karena bukan hanya dia yang menderita di dunia ini. Dan Allah tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan makhluknya.

Komentar

Postingan Populer